Senin, 14 Januari 2019
Beberapa tahun kemarin selfie atau swafoto mungkin adalah sesuatu yang tak lazim dan dianggap aneh. Tapi semakin berkembangnya teknologi kamera di ponsel, membuat swafoto menjadi sangat digemari bukan hanya wanita, tapi juga bagi pria. Sampai-sampai ada yang sangat menyukai ber-selfie ria di manapun dan kapanpun tanpa pandang bulu. Hingga para ahli dari American Psychiatric Association menetapkan istilah “selfitis” untuk mengacu pada kelainan mental berupa kegemaran mengambil dan posting selfie secara berlebihan.
Tak hanya meneliti, para ahli pun telah mengembangkan Skala Perilaku Selfitis (Selfitis Behaviour Scale) untuk mengetahui seberapa parah kondisi pelaku,seperti yang pernah dilansir di laman New York Post, Senin (18/12/2017).
Mereka yang yang mengalami selfitis umumnya melakukan swafoto guna mendongkrak rasa percaya diri, untuk mendapat perhatian, memperbaiki mood, menyimpan kenangan, menunjukkan grup sosial, serta menjadi kompetitif secara sosial. Mereka yang ‘mengidap’ selfitis biasanya merasa kurang percaya diri dengan penampilannya sebelum melihat hasil foto sendiri yang bagus lewat kamera ponsel. Seolah-olah cermin tidak diperlukan lagi bagi penggemar berat selfie.
hasil studi yang dipublikasikan dalam International Journal of Mental Health and Addiction itu membagi “Selfitis” ke dalam tiga tingkatan, tergantung keparahan:
Namun tak semua pihak setuju dengan hasil studi di atas. Dr. Mark Salter, juru bicara The Royal College of Psychiatrists, misalnya, menyuarakan kritik dan mengatakan bahwa fenomena “selfitis” sebenarnya tidak ada dan tidak seharusnya ada.
Terlepas dari benar tidaknya kabar tersebut, ada baiknya kita mulai menyadari bahwa selfie bukanlah patokan bagus tidaknya penampilan kita hari ini. Sebaiknya kita lebih bijak dalam menyikapi smartphone dan segala kelebihan yang disematkan di dalamnya.
0 komentar